Thursday, May 16, 2013

Wakatobi

Saya termasuk orang yang tidak pernah bepergian jauh, destinasi terjauh saya adalah Palembang, dan Surabaya, yang rutin saya kunjungi setiap liburan. Orang tua saya, karena pekerjaannya tidak sempat membawa saya berlibur, dan saya adalah tipe orang yang tidak berani pergi sendiri tanpa ditemani orang terdekat saya.

Keadaan ini berubah 180 derajat, mungkin lebih setelah saya memulai karir saya di dunia hubungan internasional, berpindah ke jalur ini pun, sebagai lulusan astronomi yang ditemani fisika dalam kesehariannya merupakan hal yang sangat sangat mengejutkan.

Memulai karir di organisasi internasional, menuntut saya untuk bepergian jauh, melintasi berbagai macam pulau di Indonesia. Dalam sesaat, saya yang penakut, dan anak mamih, harus mandiri melanglang buana ke negeri antah berantah


Tugas pertama saya di JICA, tiba akhir bulan Maret 2013 lalu, saya dan teman-teman kantor, berkesempatan mengunjungi Pulau Wangi-Wangi, Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Bukan, ini bukan liburan. Wakatobi merupakan salah satu tujuan bussiness trip di organisasi tempat saya bekerja. Wakatobi adalah tempat terjauh yang pernah saya kunjungi selama hidup saya.

Saya sangat excited menunggu hari mengunjungi Wakatobi tiba, selain mempersiapkan dokumen-dokumen kantor yang harus dibawa, tidaklah lupa saya mempersiapkan tas cadangan, yang isinya barang-barang liburan di daerah pesisir, padahal belum tentu ada waktu untuk berlibur sejenak. :D

Untuk mendarat di Wangi-Wangi, Kep Wakatobi, jalan yang harus ditempuh cukup jauh, melewati Makassar, Kendari, barulah mendarat di Wangi-Wangi. Hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan perjalanan ke Wakatobi adalah jadwal pesawatnya yang hanya ada seminggu tiga kali penerbangan saja.

Mendarat di bandara Matahora, Wangi-Wangi, yang pertama kali saya temui adalah bandara ini di kelilingi oleh hamparan pasir putih, Bandara Matahora, besarnya tidak melebihi gedung serbaguna, atau ruang kelas. 
Memandang ke sekeliling bandara yang ada hanyalah pohon, pohon, dan pohon.

Diperjalanan menuju hotel tempat saya menginap, yang saya perhatikan adalah di Wangi- Wangi (penduduk setempat membacanya Wanci-Wanci) tidak ada satu pun lampu lalu lintas. Pemandangannya baguuuus banget pokoknya.

Tujuan saya ke Wakatobi adalah, menghadiri acara komunitas masyarakat di Wakatobi, 4 pulau besar d dalamnya , Wangi-Wangi, Kaledupa, Binongko, Tomia, yang diadakan oleh NGO setempat terhadap respon masyarakat Wakatobi terhadap perubahan iklim. Dan acara ini didukung oleh JICA. 

Perubahan iklim yang sangat ekstrim beberapa tahun belakangan ini berdampak sangat buruk terhadap kehidupan di muka bumi ini, hal ini lebih terasa ekstrim pada masyarakat pesisir, salah satunya Wakatobi. Perubahan iklim berdampak besar pada hasil laut mereka, kondisi cuaca, dan lain-lain. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan adaptasi masyarakat Wakatobi terhadap perubahan iklim.

Wakatobi, khususnya di Wangi-Wangi adalah Kabupaten yang sangat unik, selain tidak memilik lampu merah, hanya ada satu jalan raya yang mengitari seluruh pulau secara satu arah. Selain itu, saya perhatikan, jalan raya di Wangi Wangi, bukan dilapisi aspal yang selalu lita lihat di Bandung atau Jakarta, melainkan entah materi apa yang membuat jalan rayanya berwarna putih. Apakah pemerintah disana membuat jalan menggunakan pasir putih? Hmmm,, apapun itu, sungguh memanjakan mata yang melihatnya.

Wakatobi adalah negri dimana langit masih biru dan begitu damai. Wakatobi mengingatkan saya pada lagu negeri di awan, oleh Katon Bagaskara. Di mana manusia, tidak butuh hal-hal yang terlalu complicated untuk bahagia. Pekerjaan utama sebagian besar penduduk Wakatobi adalah tidak memiliki pekerjaan. Bukan, mereka bukan pengangguran. Wakatobi adalah negri dimana kamu bisa hidup tanpa pekerjaan. Hal ini disebabkan Wakatobi masih memiliki sumber daya alam yang masih sangat virgin. Kamu ingin makan ikan? carilah ikan di laut. Ingin makan sayur? Ambilah di kebunmu nak. Di sini, hidup sesederhana itu.

Wakatobi adalah negri dimana Ikan sangat enakkkkkkkk,,,, benar benar enak. Membuat ikan-ikan laut yang kita makan di Bandung atau Jakarta, menjadi sangat tidak enak. Ahhh. Masakan khas Wakatobi adalah sup ikan Parende, ikan jenis ini hanya bisa di temui di perairan Wakatobi. Rasanya enak dan sangat segar. Enakkk huhuhuhu T.T. Give me more :((

Masyarakat Wakatobi adalah contoh masyarakat yang sangat peduli pada lingkungannya, mereka sudah aware dengan perubahan iklim, jauh sebelum hal ini digembar gemborkan di khalayak internasional. Mereka menyadari ada yang berubah pada alamnya, saat ikan ikan mulai menjauh perlahan dari perairan Wakatobi, saat hama tanaman semakin sering muncul, saat binatang-binatang asing mulai berlabuh di Wakatobi, saat mereka tidak bisa merasakan sejuknya semilir angin sore di rumah mereka. 

Satu hal yang menyedihkan dari Wakatobi adalah di Wangi, saya melihat gunung,entah gunung apa, gunung pasir atau kapur, yang bolong menganga bagaikan gigi yang bolong, habis dikeruk. Entah mungkin untuk pembangunan jalan yang bak hamparan pasir putih itu. 



Bersama para perwakilan masyarakat Wakatobi


No comments:

Post a Comment